Jidat Hitam Sebagai Bekas Sujud, Benarkah? -->

Advertisement

Masukkan script iklan 970x90px

Jidat Hitam Sebagai Bekas Sujud, Benarkah?

Jumat, 05 Februari 2016

Wajah para sahabat Rasulullah SAW. itu bercahaya, sangat berkilauan, ketika bangkit dari alam kubur pun wajah mereka akan terang benderang seperti purnama rembulan. Inilah yang dinamakan min atsaris sujud (bekas sujud). Jadi bekas sujud (min atsaris sujud) bukan pada jidad yang hitam, karena hitamnya lebih tepat disebut min atsaril karpet (bekas karpet tempat dia sujud, red). Begitupun para wali Allah, mereka takut jika sampai jidad mereka hitam. Takut kalau jidad yang hitam menjadikan riya`(pamer).
Kenapa wajah para sahabat Rasulullah dapat seperti itu? Karena diawali dari wudlu yang mencapai hati. Wudlu bukan hanya melaksanakan syarat-rukunnya. Karena wudlu yang meresap sampai hati akan menimbulkan sifat tawadlu` (rendah hati), dan tubuh tidak akan mau digunakan untuk maksiat. Jangankan maksiat, semisal mata melihat keburukan pun tidak betah, pingin-nyapergi atau memejamkan mata saja. Jadi belum sampai pada min atsaris sujud (shalat), para sahabat Rasulullah sudah pada tahap min atsaril wudlu (bekas wudlu). Wudlu yang sudah merasuk ke dalam hati, sehingga tidak mau membuka aib atau melihat aib saudara sesama muslim, dan sesama anak bangsa. Kalau melihat perempuan yang terbuka auratnya, mata tertutup tak mau melihatnya, karena menganggap itu aib saudara muslimahnya. Jika hal ini diterapkan kepada kita, dan kita mau menutupi aib saudara sebangsa, atau aib pejabat, atau aib Negara, maka bangsa lain tidak akan berani memojokkan bangsa kita. Bangsa lain sanggup memojokkan kita karena kita tidak menghormati bangsa kita sendiri dengan membua aib-aib di dalamnya.
Contoh lain dari min atsaril wudlu adalah bertutur kata yang bagus serta sopan. Orang akan menjadi lebih berwibawa ketika bertutur kata yang sopan. Salamatul insan fi hifdzil-lisan, (tanda seseorang) selamat adalah karena menjaga lisannya dari tutur kata yang tidak baik. Kita, sebagai orang dewasa, segala ucapannya akan ditiru juga oleh anak-anak. Jadi orang dewasa seharusnya memberi contoh bertutur kata yang baik pada mereka. Di atas podium seyogyanya tidak membuka aib seseorang, meski tidak cocok. Allah Ta'ala saja di dalam Al-Quran memakai adab (etika) ketika sedang mengingatkan. Simak kalimat ya ayyuhal-ladzina amanu (wahai, orang-orang yang beriman), tidak menyebut namanya langsung, bukannya: "Hai, fulan bin fulan!"
Jika lisan kita terbiasa berdzikir, maka buahnya adalah tutur kata yang baik. Berdzikir itu dilakukan karena kita perlu dan butuh pada Allah, dan juga mencari pahala itu tidak hanya dalam shalat saja. Selain itu, berdzikir itu untuk melatih dan membimbing lisan dan hati agar terbiasa ingat Allah. Oleh karena tidak ada yang melebihi sakitnya sakaratul maut, maka lisan dan hati harus dilatih dengan dzikir, apalagi dalam thariqah. Apa yang menjadi kebiasaan lisan kita itu yang akan muncul secara reflek saat sakaratul maut.
Semisal, kalau lisan kita terbiasa mengucapkan alhamdulillah, kemudian kita berjalan tanpa sengaja terpeleset atau tersandung, maka biasanya reflek mengucapkan alhamdulillah. Tapi kalau yang biasa dilatih dan diucapkan kata kotor atau nama hewan, maka saat terpeleset atau tersandung batu ya kalimat nama hewan itu yang keluar dari lisannya.
Badan kita atau baju kita, tiga hari saja tidak dicuci maka baunya bikin orang lain tidak nyaman, bahkan kita sendiri pun tidak nyaman. Kalau badan kotor kita mudah membersihkannya, tinggal mandi. Tapi kalau hati kita yang kotor? Dalam sehari, berapa kali kita mencuci hati kita? Allah ta’ala berfirman, alaa bidzikrillah tathma-innul quluub. Itulah cara kita mencuci hati kita yaitu dengan berdzikir. Karena penyakit hati itu harus dibersihkan agar jauh dari sifat tercela seperti'ujub, sombong, riya’, hasud (iri hati), dan lain-lain. Adapun membersihkan hati itu dengan kalimat dzikir laa ilaaha illAllah. Kalau dalam membaca laa ilaaha illAllah ditata dengan baik dan diresapi dalam hati, maka kalimat laa ilaaha illAllah bisa membersihkan hati kita, sehingga hati penuh dengan laa ilaaha illAllah.
Kita ini dalam masuk thariqah jangan kayak anak SD yang suka pamer fadhail (keutamaan). Anak-anak kan kalau hari lebaran biasa pakai baju baru, biasanya itu saling pamer bagus-bagusan baju baru. kata si A, "Bagusan bajuku gambarnya pesawat", si B tak mau kalah, si C juga tak mau lebih kalah lagi. Semua rebutan bagus-bagusan baju baru lebaran. Masuk thariqah itu untukwushul (sampai) kepada Allah, bukan untuk fadhail. Kalau kita masuk thariqah seperti anak SD, maka thariqah dan dzikir kita hanya menghiasi lisan. Padahal, kalau thariqah sudah menghiasi bathin kita, maka saya menjamin dunia akan damai.
Seminggu sebelum wafat, Sayyidi Syekh Al-Imam Abul Abbas Ahmad bin Muhammad At-Tijani keliling silaturrahim ke Ulama, memohon doa kepada para Ulama agar Husnul Khatimah, padahal sekelas al-Imam Ahmad at Tijani itu wali Quthub, tapi masih mau bersilaturrahim dan memohon doa ke Ulama lain. Itu bentuk betapa tawadhu-’nya al-Imam As-Syaikh Ahmad at-Tijani.
Jangan kita bikin malu Imam Thariqah kita dengan cara kita berakhlak yang baik, maka tawadhu’-lah, cinta Rasulullah dan Ulama. Sehingga kompak, saling tawadhu, dan saling mengangkat. Orang Qadiriy memuji orang Tijani, orang Syathari mengangkat orang Naqsybandiy, dan seterusnya. Jadi sesama ahli thariqah, meskipun berbeda thariqah, tapi saling memuji dan saling mengangkat. Dan inilah wujud min atsaril wudlu (bekas wudlu), dan kemudian diteruskan ke min atsaris sujud (bekas sujud).
Waallahu'allam